Kiat mengatasi writer’s block pada penulis pemula

 Oleh Fitrilawati



Sebenarnya sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi seorang penulis. Ketika masih duduk di kelas lima SD, saya pernah mencoba membuat tulisan singkat dan dikirim ke majalah Bobo. Mungkin karena penulisannya kurang baik atau mungkin karena temanya yang kurang menarik, tulisan singkat itu tidak dapat dimuat pada majalah anak-anak tersebut.

Pengalaman tersebut membuat saya berhati-hati dalam menulis sehingga merasa harus selalu mencoba menuliskan setiap kalimat dengan baik. Sebagai akibatnya, ketika baru menuliskan beberapa paragraf, sudah ada keinginan untuk mengkoreksi kalimat tersebut sambil membayangkan kalimat yang mudah dibaca dan dipahami oleh orang lain.

Ternyata kebiasaan untuk memperbaiki tulisan, agar susunan kalimatnya terlihat sempurna, dalam proses penulisan berlanjut terus sampai baru-baru ini ketika saya mengikuti kelas Belajar Menulis (KBM) PGRI gelombang 27. Dalam kegiatan KBM tersebut diberikan pengetahuan tentang menulis, sehingga saya baru tahu bahwa menulis kalimat itu tidak perlu langsung jadi. Ada beberapa tahapan dalam menulis, setelah membuat kerangka tulisan, kemudian membuat draft tulisan, lalu mengedit draft dan proofreading. Biasanya, ketika baru menuliskan beberapa paragraf, sudah ada keinginan saya untuk mengkoreksi kalimat tersebut. Mungkin karena sibuk mengoreksi kalimat, tidak ada satupun tulisan saya yang selesai.

Ketika mencoba membuat artikel tentang writer’s block, saya baru menyadari bahwa masalah saya selama ini adalah writer’s block. Ketika akan menulis artikel tentang writer’s block, saya membuka folder pada komputer lama yang berisi file-file lama yang dulu pernah ditulis. Saya langsung mencari folder yang berjudul ‘halaman ide’, saya ingat betul pada folder tersebut saya pernah menyimpan file-file tulisan yang dulu pernah dibuat. Ketika folder tersebut dibuka, tampak di dalamnya ada banyak sub-folder. Saya tertarik untuk membuka sub-folder yang namanya ‘Jepang’. Ternyata di dalamnya ada beberapa file yang ditulis pada tahun 2010. Ada dua file yang menarik perhatian saya yaitu ‘Children peace monument sebagai saksi kekejaman bom atom’ dan file lain yang namanya ‘Hiroshima’.

Kenangan saya kembali ke masa tersebut, teringat ketika saya mendapat kesempatan mengunjungi Hiroshima Peace Memorial Park, perasaan mengharu biru ketika melihat betapa kejamnya akibat bom atom pada masa itu. Ketika itu ada keinginan untuk menuangkan perasaan tersebut dalam bentuk tulisan, namun tulisan tersebut tidak pernah jadi. Pada folder lain ada file yang judulnya ‘wortel atau cambuk’, ‘sampah plastik’, dan banyak lagi file-file lain yang pernah ditulis pada puluhan tahun silam. Ketika file-file tersebut dibuka, ada file yang berjumlah dua halaman, ada yang tiga halaman, ada yang empat halaman, namun tidak ada satupun yang selesai menjadi sebuah tulisan.

Ketika membuka sub-folder lain, saya melihat ada banyak file yang ditulis pada tahun 1998. Saya tertarik untuk membuka file yang bernama ‘kejutan salju di pagi hari’, isinya ada dua setengah halaman dengan spasi satu setengah.

Kenangan melayang ke masa tersebut, ketika saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kota Mainz di dekat Frankfurt Jerman pada bulan November tahun 1998. Bulan November sudah masuk musim dingin, namun katanya di kota Mainz jarang sekali ada salju pada musim dingin.

Pagi itu, ketika bangun dan membuka jendela, saya terkagum-kagum melihat pemandangan yang luar biasa di luar gedung, tampak mobil-mobil yang terparkir pada halaman apartemen, pohon-pohon, dan jalanan semuanya tampak memutih tertutup salju. Saya membaca file tersebut, disana dideskripsikan perasaan yang sangat antusias dan senang karena dapat merasakan salju secara langsung, hanya di luar kamar. Sebenarnya ketika itu bukanlah kali pertama saya melihat salju, sebelumnya ketika mengunjungi suatu tempat, saya pernah sengaja pergi ke daerah pegunungan untuk melihat dan merasakan salju. Tapi kali itu salju ada dekat sekali, di luar jendela pada halaman apartemen tempat saya tinggal. Bagi saya yang tinggal dan besar di daerah katulistiwa, salju adalah hal yang luar biasa.

Pada tulisan tersebut diceritakan bagaimana antusiasnya ketika berjalan kaki dari tempat menginap menuju tempat berkegiatan melalui jalanan setapak yang tertutup salju. Tertulis pada halaman tersebut bagaimana senangnya berjalan menginjak salju yang lembut dan meninggalkan jejak sepatu. Sepanjang perjalanan tak hentinya menoleh ke belakang untuk melihat jejak sepatu yang tertinggal. Juga tergambarkan bagaimana perasaan ketika salju yang halus mengenai muka, tangan dan jaket. Karena suhu tubuh yang cukup hangat, butiran salju tersebut meleleh sehingga terasa basah.

Pada tulisan tersebut juga diceritakan bahwa saya mencoba memakai payung agar salju tidak membasahi muka, tangan dan jaket. Namun kemudian payung tersebut dilipat kembali setelah melihat tidak ada pejalan kaki lain yang memakai payung utk menghindari basah dari cairnya butiran salju.

Sebenarnya tulisan tersebut tidak jelek, masalahnya cerita yang dituliskan tersebut berhenti disana, alias tidak selesai. Saya mencoba mengingat-ingat alasan kenapa tulisan tersebut tidak diteruskan. Hal tersebut mungkin dikarenakan ketika menulis sibuk mengoreksi kalimat, sehingga membuat tulisan tersebut tidak jadi, sementara banyak aktivitas lain yang membutuhkan perhatian?

Walau banyak orang mengatakan bahwa menulis itu mudah, namun sejak dulu saya merasakan adalah tidak mudah untuk membuat tulisan yang diinginkan. Walaupun sudah ada ide yang menggebu-gebu di kepala untuk dituliskan, namun ada banyak hambatan ketika menuangkannya dalam bentuk tulisan. Yang sering saya alami adalah ketika baru menghasilkan satu-dua halaman tulisan, ada perasaan tidak puas. Diantaranya ada beberapa hal yang mengganjal seperti ada urutan kalimat yang terasa tidak runut, ada penggunaan kata yang tidak tepat, ada urutan logika yang terasa janggal. Hal tersebut membuat saya merasa bahwa kalimat pada tulisan tersebut perlu segera diperbaiki. Mungkin hal tersebutlah yang mengakibatkan tulisan-tulisan yang saya buat tidak pernah jadi, sehingga keinginan untuk menjadi penulis pun hanya sebatas angan-angan. Ketika itu saya merasa wajar saja, karena memang percaya bahwa membuat tulisan adalah tidak mudah dan saya tidak menyadari bahwa kondisi tersebut adalah writer’s block.

Melihat pengalaman saya sebelumnya, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan berhentinya proses menulis tersebut. Faktor penyebab utama tampaknya adalah keraguan atau mungkin juga ketakutan apabila nanti dipublikasi tulisan tersebut akan dikritik orang karena jelek, tidak layak baca, banyak kesalahan ejaan, kalimatnya tidak pas, dan sebagainya. Ketakutan tersebut menimbulkan kehati-hatian sehingga muncul keinginan agar tulisan yang dibuat harus sempurna. Ada semacam ambisi bahwa sebelum menyentuh keyboard ide yang ada di kepala haruslah sudah tersusun secara sempurna, dan ternyata hal tersebut tidak pernah terjadi. Ternyata sebagai penulis pemula saya terlalu perfeksionis.

Bergabung dengan KBM gelombang 27 adalah cara natural saya untuk mengatasi masalah writer’s block. Disana ada banyak kesempatan untuk belajar dari orang lain, sehingga timbul sikap yang tidak terlalu banyak menuntut pada diri sendiri. Kesadaran tersebut sangat membantu untuk mengurangi sikap perfeksionis. Ternyata sejak mengikuti KBM, kegiatan menulis (bacanya menulis resume materi pelatihan) terasa santai dan menyenangkan. Mungkin karena tidak ada tekanan, proses menulis menjadi lancar dan mengalir secara alami sesuai dengan ritme menulis saya. Sampai hari ini, saya selalu dapat menyelesaikan penulisan resume materi pelatihan pada beberapa saat setelah materi diberikan. Setelah pertemuan ke-15, saya sudah memiliki lima belas buah resume tentang materi yang berkaitan dengan kegiatan menulis sehingga tanpa terasa pengetahuan tentang menulis bertambah.

Pada materi KBM ada topik mengenai writer’s block, yaitu kondisi dimana seorang penulis tidak dapat memikirkan apa yang harus ditulisnya atau tidak ada ide untuk melanjutkan tulisannya. Itu persis seperti yang dulu sering saya alami, sehingga tidak melanjutkan tulisan yang sudah dimulai. Ketika itu saya tidak tahu bahwa hal tersebut harus diatasi dan dilawan, namun hanya pasrah aja dengan tidak melanjutkan penulisan tersebut. Sehingga tidak heran jika ada banyak sekali file tulisan yang dicoba dibuat dan hanya setengah jadi pada folder ‘halaman ide’ tersebut.

Pada materi pelatihan KBM diuraikan tanda-tanda penulis terserang writer’s block seperti sulit fokus, tidak ada inspirasi menulis, menulis lebih lambat dari biasanya, atau merasa stres dan frustasi ketika menulis. Pada saat pelatihan dijelaskan untuk mengatasi writer’s block perlu dicari penyebabnya. Namun yang paling penting adalah menyadari ketika writer’s block tersebut menyerang, sehingga bisa cepat mengambil tindakan untuk menyingkirkan writer’s block tersebut.

Dalam kegiatan pelatihan menulis ditekankan bahwa proses editing dilakukan setelah draft tulisan selesai, bukan ketika tulisan masih jalan separuh atau baru beberapa paragraf. Jika ketika sedang menulis, muncul keinginan untuk memperbaiki tulisan agar kalimatnya terlihat sempurna, maka godaan tersebut harus segera dihentikan dan terus menulis. Godaan untuk melakukan perbaikan tersebut sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penulis terjebak dalam memperbaiki tulisan yang belum jadi, dan dapat mengakibatkan tulisan tersebut tidak pernah jadi.

Saya jadi mengerti mengapa dulu banyak tulisan yang saya buat hanya setengah jadi. Sebagai penulis kita harus realistis bahwa tak sempurna adalah manusiawi, dan pemikiran yang terlalu sempurna dapat menghambat dalam menghasilkan karya. Apalagi pada kenyataannya para penulis yang hebat pun masih melakukan revisi tulisannya sebelum dipublikasi.

Setelah ikut materi writer's block, baru terbuka fikiran bahwa writer's block dapat terjadi pada setiap penulis, baik penulis pemula maupun penulis professional. Writer's block umumnya tidak disebabkan oleh masalah komitmen atau kompetensi menulis. Orang yang sudah memiliki komitmen tinggi dalam menulis pun, masih bisa terserang writer's block. Sebagai contoh, Elizabeth M. Gilbert seorang penulis novel terkenal asal Amerika Serikat pernah mengalami writer's block karena tekanan untuk untuk segera menghasilkan karya baru setelah bukunya yang berjudul ‘Eat, Pray, Love’ meledak di pasaran. Dia dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut setelah berdamai dengan dirinya dalam menafsirkan penulisan kreatif sehingga dia dapat kembali menulis secara natural sesuai dengan ritmenya.

Hal utama yang terpenting untuk mengatasi writer's block adalah menyadari adanya kondisi writer’s block, kemudian mencari penyebabnya, lalu berusaha meminimalkan faktor pemicu writer's block tersebut. Menulis adalah seni, bukan sains, sehingga untuk mengatasi writer's block tidak ada resep khusus yang dapat berlaku untuk semua orang. Namun, masing-masing individu harus mulai mencoba melakukan sesuatu yang membuatnya dapat menemukan hal yang cocok bagi dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar